Wednesday, 10 September 2008

Cincin Tertutup dan Sistem Sertifikasi

Peningkatan manfaat sosial dan ekonomi dari hobi pemiliharaan burung kicauan dan mengurangi dampak pemeliharaan burung kicauan terhadap populasi burung di alam

Fahrul P. Amama

Indonesia telah lama dikenal dengan kekayaan keanekaragaman hayatinya. Di antara kekayaan keragaman satwanya, burung merupakan salah satu kekayaan hayati yang paling menakjubkan. Indonesia memiliki sekitar 1593 jenis burung yang menempatkan Indonesia sebagai nomor empat terbanyak di dunia. Lebih menakjubkan lagi, 353 jenis di antaranya merupakan jenis unik dan endemik (hanya terdapat di Indonesia), yang membuat Indonesia melesat ke posisi nomor satu di dunia dalam hal keanekaragaman jenis burung endemik.
Namun sayangnya, keanekaragaman jenis burung yang kita miliki semakin terancam keberadaannya. Saat ini terdapat 119 jenis burung yang terancam punah sehingga menempatkan Indonesia sebagai negara yang burungnya paling banyak terancam punah. Sementara sekitar 195 jenis burung lainnya tengah antre sebagai jenis burung yang mendekati terancam punah. Kondisi ini tidaklah makin membaik dari waktu ke waktu. Pada tahun 1994 di Sumatera tercatat sebanyak 26 jenis burung terancam punah. Jumlah ini meningkat pada tahun 2001 menjadi 195 jenis.
Ada beberapa penyebab terancam punahnya berbagai jenis burung di Indonesia. Antara lain adalah hilangnya habitat, terutama habitat hutan, yang menjadi tempat hidup burung. Luas hutan yang hilang di Sumatera dalam kurun waktu 1985-1997 mencapai angka 67.000 km2, sementara Kalimantan lebih parah lagi karena telah kehilangan 90.000 km2 kawasan hutannya. Dari 16 juta hektar luas hutan yang dimiliki Sumatera pada tahun 1900, kini tinggal tersisa hanya sekitar 300.000 hektar.
Ancaman lainnya adalah penangkapan, perdagangan serta penyelundupan burung-burung terutama jenis-jenis eksotis seperti paruh bengkok. Di kawasan timur Indonesia, ribuan ekor nuri dan kakatua ditangkap setiap tahunnya untuk diperdagangkan. Sebagian besar diselundupkan ke luar negeri, sebagian lainnya dipasok untuk memenuhi permintaan pasar domestik.

Dampak Hobi Memeliharaa Burung di Perkotaan
Hobi memelihara burung yang berkembang di Indonesia juga memberi dampak yang cukup signifikan terhadap kelestarian jenis burung. Hasil survey yang telah dilakukan oleh Burung Indonesia bersama Universitas Oxford dan Darwin Initiative, bekerja sama dengan The Nielsen menunjukkan,1,486,000 burung tangkapan dari alam dipelihara di enam kota besar di Jawa dan Bali. Survey yang sama juga memperlihatkan bahwa dari total jumlah burung kicauan yang dipelihara, lebih dari setengah (58%) merupakan jenis hasil tangkapan dari alam. Sementara sepertiga diantaranya (32%) merupakan jenis domestik. Hanya sekitar 8% yang merupakan jenis yang sebagian telah ditangkarkan, dan cuma 2% yang merupakan jenis yang sekarang banyak ditangkarkan. Berdasarkan hasil analisis di empat kota besar di Jawa, ditemukan pula bahwa terjadi peningkatan jumlah burung kicauan lokal yang dipelihara dari hasil tangkapan di alam. Pada tahun 1999 jumlahnya mencapai 738.518 ekor sementara pada tahun di tahun 2006 jumlahnya meningkat menjadi 878.077 ekor.
Untuk beberapa jenis burung, penangkapan di alam bisa menyebabkan jenis ini semakin sulit ditemui. Banyak jenis burung yang dahulunya sangat umum dijumpai menjadi semakin kecil populasinya di alam sehingga semakin langka karena banyak ditangkap dan diperdagangkan. Sebut saja sebagai contoh: cucak rawa, murai batu, jalak suren dan anis kembang. Lebih celaka lagi, jenis-jenis yang banyak diburu untuk dijadikan klanengan dan pelomba itu bukan termasuk jenis burung yang dilindungi. Kalaupun jenis tersebut kemudian dilindungi, upaya penegakkan hukum juga belum tentu efektif. Sementara populasi di alam tetap semakin rentan, sehingga diperlukan upaya pemulihan populasi tersebut.

Pendekatan Baru Untuk Pelestarian Burung
Burung Indonesia sebagai lembaga konservasi memiliki misi utama menjaga keragaman burung Indonesia dan habitatnya, serta bekerjasama dengan masyarakat untuk mencapai pembangunan yang lestari. Disadari bahwa selama ini upaya-upaya yang dilakukan untuk menjaga kelestarian jenis-jenis burung di Indonesia masih belum efektif. Karena itu perlu dikembangkan pendekatan-pendekatan baru dalam upaya pelestarian jenis burung sehingga tujuan melestarian keragaman burung di Indonesia dapat dicapai melalui cara-cara yang efektif.
Selama ini pendekatan yang lebih banyak digunakan untuk melestarikan keragaman jenis burung adalah pendekatan regulasi. Strategi utama pendekatan ini adalah menghentikan atau membatasi pasokan burung/satwa dari alam melalui peraturan eksternal dan penegakan hukum. Pendekatan ini seperti memutus rantai pasar dari produsen/pemasok kepada konsumen/pembeli. Pendekatan regulasi banyak digunakan untuk menghentikan perdagangan daging satwa liar dari alam, perdagangan harimau, maupun perburuan gading gajah untuk dijual. Komponen utama dari pendekatan ini tentunya penegakkan hukum yang efektif, tidak pandang bulu, serta memberikan efek jera bagi pelaku. Sayangnya penegakkan hukum untuk kejahatan hidupan liar (wildlife crime), seperti juga bagi kejahatan di bidang lainnya, hingga saat ini masih sangat lemah.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apakah pendekatan regulasi ini cocok dan tepat untuk diterapkan begi semua jenis burung, terutama burung kicauan? Untuk menjawab pertanyaan ini, Burung Indonesia bekerjasama dengan the Nielsen, PBI dan Aksenta melakukan studi cukup mendalam mengenai aspek hobi memelihara burung kicauan yang berkembang di Indonesia. Studi ini mencakup survey kuesioner di enam kota besar di Jawa dan Bali, analisis rantai pasar dari perdagangan burung liar dari pasokan alam di Sumatera dan Kalimantan, serta studi mengenai penangkaran burung kicauan yang berkembang di beberapa kota di pulau Jawa.

Hasil Survey Kuesioner di Enam Kota Besar di Jawa dan Bali
Burung Indonesia bersama Universitas Oxford, Darwin Initiative, dan Nielsen pada akhir tahun 2006 melakukan serangkaian penelitian mengenai hobi memelihara burung dalam sangkar (bird keeping) yang sangat jamak di negeri ini. Survei dilakukan di enam kota besar yang dinilai representatif yakni Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, dan Denpasar. Hasilnya, burung adalah satwa yang paling banyak dipelihara keluarga Indonesia. Dari 1.781 rumah tangga di kota-kota besar itu, sebanyak 636 atau sekitar 36 persen rumah tangga memilih burung sebagai binatang peliharaan. Artinya, bisa diasumsikan kalau 1.486.611 rumah tangga di enam kota besar seantero Jawa-Bali yang memelihara burung.
Ini adalah angka terbesar dibanding data hewan peliharaan lain. Ikan hanya dipelihara oleh 434 rumah tangga atau sekitar 24 persen, kucing hanya dipelihara 228 orang (13 persen), dan anjing dipelihara 179 rumah tangga atau sekitar 10 persen. Sisanya dengan persentase yang relatif kecil sekitar satu sampai lima persen adalah reptil, monyet, dan binatang-binatang yang dipandang langka dan unik lainnya.
Fakta ini tidak lepas dari budaya memelihara burung yang telah mengakar kuat dalam sanubari masyarakat, terutama kalangan masyarakat Jawa. Budaya Jawa yang mendasarkan kekuatan jiwa pada lima hal – yang salah satunya adalah burung – itulah yang melatarbelakangi banyak orang Jawa memelihara burung. Dari survey juga terungkap, alasan utama banyak orang memelihara burung adalah burung mengingatkan pemeliharanya akan suasana asri di kampungnya. Burung juga menjadi sarana yang baik dalam memperluas dan mempererat pertemanan di kalangan masyarakat penghobi. Di samping itu, hobi memelihara burung juga meningkatkan minat serta pengetahuan mereka mengenai berbagai aspek pada burung kicauan.
Kalangan penghobi burung juga merasakan berbagai manfaat dalam menekuni hobi mereka. Salah satunya adalah melepaskan stress dan membuat suasana lebih santai di rumah. Selain sebagai kegiatan pengisi waktu luang, burung juga merupakan bahan pembicaraan yang menyenangkan bagi kalangan penghobi dalam mempererat persahabatan dan kekeluargaan.
Dari segi ekonomi, hobi memelihara burung juga memberikan dampak yang sangat signifikan bagi masyarakat. Rata-rata penghobi mengeluarkan uang sekitar 1,5 juta rupiah setiap tahunnya untuk burung kicauan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perputaran uang dalam hobi burung kicauan per tahunnya mencapai 800 Milyar rupiah. Tak hanya dari segi besaran rupiahnya, perputaran uang dalam hobi burung kicauan juga memberikan multipyer efek yang sangat signifikan bagi masyarakat luas. Perputaran uang dalam satu even lomba saja dapat mencapai 500 juta rupiah. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa keberadaan lomba tersebut membuka peluang usaha bagi sektor informal seperti pedagang kaki lima, perajin sangkar, penjual pakan hidup dan usaha lainnya. Dalam sektor penangkaran burung sebagai salah satu pemasok burung kicauan, juga terlihat banyak peluang bagi masyarakat untuk meningkatkan pendapatannya sebagai penangkar, pengumpul pakan hidup, hingga perawat anakan yang bertugas melolohkan makanan. Sektor ini juga membuka peluang bagi masyarakat di desa untuk tetap memperoleh pendapatan yang signifikan pada usia yang dianggap sudah non produktif.

Pendekatan Pasar dan Sistem Sertifikasi
Kesimpulan yang dapat diambil dari studi tersebut adalah hobi memelihara burung kicauan memberikan keuntungan sosial, budaya dan ekonomi yang signifikan. Namun di sisi lain, hobi memelihara burung juga memberikan dampak pada populasi burung liar jika pasokan burung hanya diambil dari alam. Untuk itu diperlukan pendekatan yang berbeda dalam upaya pelestarian burung, yakni pendekatan pasar.
Pendekatan pasar bertujuan memodifikasi rantai pasokan dengan kontrol pasar (market ‘pulls’ & pushes). Pendekatan ini lebih menitikberatkan kepada kesadaran para pelaku pasar serta karisma. Dengan pendekatan ini, rantai pasar tidak diputus seperti yang dilakukan pada pendekatan regulasi. Modifikasi rantai pasokan dilakukan untuk menjamin keberlangsungan rantai pasar itu sendiri. Modifikasi ini dilakukan dengan merubah pasokan langsung dari alam dengan tiga komponen.
Komponen pertama adalah bahan pengganti. Contoh nyata dari komponen ini adalah kayu hitam (ebony) dan gading gajah (ivory) yang menjadi bahan utama pembuatan piano. Dengan digantikannya bahan tersebut dengan plastik, otomatis mengurangi permintaan terhadap gading gajah dan kayu hitam dari alam.
Komponen kedua adalah pemanfaatan berkelanjutan. Komponen ini tidak menghentikan pasokan dari alam, tetapi proses pemanenan dari alam dibatasi serta dikontrol sehingga tidak mengancam keberlanjutan jenis yang dipanen. Pembatasan dapat berupa masa pemanenan, jumlah kuota pemanenan serta spesifikasi jenis yang boleh dipanen (ukuran, usia dan lainnya).
Komponen lainnya adalah pembiakan/penanaman, yang untuk dunia satwa dikenal dengan penangkaran. Komponen ini sangat penting untuk perlahan-lahan menggantikan ketergantungan terhadap pasokan langsung dari alam. Sehingga pengambilan langsung dari alam nantinya dapat sangat dibatasi, misalnya hanya untuk dijadikan indukan bagi penangkaran.
Ketiga komponen tersebut juga dikontrol dalam rantai pasar dengan menggunakan sertifikasi. Dengan demikian dampak negatif terhadap populasi di alam dapat dikurangi tanpa memutus rantai pasar. Dalam pendekatan ini sertifikasi menjadi komponen penting dalam memodifikasi rantai pasar sehingga dapat menjamin keberlanjutan.
Berbagai kalangan penghobi burung kicauan kini sedang mendiskusikan kemungkinan untuk mengganti penangkapan di alam dengan budidaya/penangkaran. Untuk itu perlu dilakukan penandaan sehingga dapat dibedakan burung hasil tangkaran dengan burung hasil tangkapan alam. Untuk menjamin keabsahan penandaan tersebut dibutuhkan sistem sertifikasi bagi burung hasil tangkaran. Salah satu kemungkinan adalah membentuk suatu sistem dimana anakan burung hasil budidaya akan ditandai dengan cincin khusus yang akan membuktikan bahwa burung tersebut adalah hasil dari penangkaran. Cincin khusus ini disebut cincin tertutup (close ring) yang sifatnya permanen. Ukuran cincin tersebut disesuaikan sedemikian rupa berdasarkan ukuran kaki jenis burung tertentu sehingga hanya dapat dipasang di kaki burung pada saat masih anakan.
Tujuannya sertifikasi dan pencincinan ini adalah supaya orang dapat membedakan antara burung hasil penangkaran dengan hasil penangkapan di alam. Dengan demikian konsumen dapat memilih untuk membeli burung hasil tangkaran jika diinginkan. Diharapkan dengan adanya sertifikasi dan pencincinan ini para penghobi burung kicauan dapat mengambil bagian dalam upaya mengurangi pengaruh hobi memelihara burung terhadap populasi burung di alam.


Fahrul P. Amama bekerja di Knowledge Center Burung Indonesia sebagai Social Marketing and Campaign Officer.

No comments: